
DEIYAI – Lokasi yang dipakai Pemerintah Kabupaten Deiyai untuk membangun sejumlah perkantoran di Tigidoo, Distrik Tigi, dipersoalkan kembali karena belakangan ada penambahan lokasi diluar kesepakatan bersama sebelumnya.
Salah seorang mahasiswa yang juga berasal dari Tigidoo, Donatus Bidaipouga Mote, mengatakan, seharusnya pemerintah daerah terbuka terhadap warga pemilik ulayat jika mau mengambil beberapa meter lokasi pembangunan gedung-gedung kantor.
“Memang tanah adat di Tigidoo dilepaskan masyarakat setempat kepada pemerintah untuk membangun kantor-kantor. Saya sangat salut dengan itu. Tetapi, kenapa sekarang ada ambil beberapa meter lagi tanah milik Marga Mote di Tigidoo? Itu sudah tidak sesuai aturan, juga tidak sesuai dengan Adat Suku Mee,” tuturnya kepada Papuapos Nabire, Jumat (24/6) kemarin.
Dipaparkan alasan mengapa pengambilan Tanah Adat tersebut tidak sesuai dengan Adat dan Budaya Suku Mee, bahwa melihat realitas saat ini, pemerintah daerah ternyata mengambil lokasi di Tigidoo tanpa sepengetahuan masyarakat setempat. Mestinya ada negosiasi dengan masyarakat pemilik tanah (Makiipuwemee) terutama Yamekopa.
“Tanpa ada ijin, pemerintah malah sudah merintis lokasi dan masyarakat setempat kaget ketika kantor-kantor sudah dibangun. Ini tindakan yang tidak dapat diterima oleh pemilik ulayat,” tandas Donatus.
Menurut dia, pengambilan tambahan dua meter tanah adat itu terjadi tanggal 18 Juni 2011. “Sampai sekarang masyarakat ada tunggu pemerintah segera tunggu jabatan dari pemerintah daerah,” imbuhnya.
Masalah tidak hanya itu, sebab katanya, pembayaran tanah di Tigidoo juga tidak jelas. “Pembayaran dari pemerintah daerah tidak pada sasaran. Bukan langsung kepada Makimee, tetapi malah dilakukan secara keluargaisme. Penyerahan tanah dari masyarakat kepada pihak pemerintah tidak diketahui dengan jelas. Makipuwemee kaget ketika Bupati Caretaker menunjukan bukti penyerahan tanah kepada pemerintah yang telah ditandatangani diatas meterai pada saat pemilik tanah Tigidoo menggelar aksi demo di Kantor Bupati Deiyai untuk menuntut pembayaran atas tanah tersebut,” ceritanya panjang lebar.
Dikatakan, proses pembayaran belum tuntas bahkan muncul desas-desus yang mestinya disikapi serius. Karena hal itu berpeluang memunculkan konflik di tengah masyarakat, sehingga pemerintah daerah perlu menyelesaikan pembayaran tanah yang dilepaskan itu.
Oleh karenanya, Pemkab Deiyai harus secara transparan dengan mengumumkan kepada seluruh masyarakat tentang proses pembayaran tanah agar kemudian hari tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pada tahun lalu. (you)
http://papuaposnabire.com/index.php/deiyai/1327-pembayaran-tanah-adat-pemkab-deiyai-belum-transparan
Salah seorang mahasiswa yang juga berasal dari Tigidoo, Donatus Bidaipouga Mote, mengatakan, seharusnya pemerintah daerah terbuka terhadap warga pemilik ulayat jika mau mengambil beberapa meter lokasi pembangunan gedung-gedung kantor.
“Memang tanah adat di Tigidoo dilepaskan masyarakat setempat kepada pemerintah untuk membangun kantor-kantor. Saya sangat salut dengan itu. Tetapi, kenapa sekarang ada ambil beberapa meter lagi tanah milik Marga Mote di Tigidoo? Itu sudah tidak sesuai aturan, juga tidak sesuai dengan Adat Suku Mee,” tuturnya kepada Papuapos Nabire, Jumat (24/6) kemarin.
Dipaparkan alasan mengapa pengambilan Tanah Adat tersebut tidak sesuai dengan Adat dan Budaya Suku Mee, bahwa melihat realitas saat ini, pemerintah daerah ternyata mengambil lokasi di Tigidoo tanpa sepengetahuan masyarakat setempat. Mestinya ada negosiasi dengan masyarakat pemilik tanah (Makiipuwemee) terutama Yamekopa.
“Tanpa ada ijin, pemerintah malah sudah merintis lokasi dan masyarakat setempat kaget ketika kantor-kantor sudah dibangun. Ini tindakan yang tidak dapat diterima oleh pemilik ulayat,” tandas Donatus.
Menurut dia, pengambilan tambahan dua meter tanah adat itu terjadi tanggal 18 Juni 2011. “Sampai sekarang masyarakat ada tunggu pemerintah segera tunggu jabatan dari pemerintah daerah,” imbuhnya.
Masalah tidak hanya itu, sebab katanya, pembayaran tanah di Tigidoo juga tidak jelas. “Pembayaran dari pemerintah daerah tidak pada sasaran. Bukan langsung kepada Makimee, tetapi malah dilakukan secara keluargaisme. Penyerahan tanah dari masyarakat kepada pihak pemerintah tidak diketahui dengan jelas. Makipuwemee kaget ketika Bupati Caretaker menunjukan bukti penyerahan tanah kepada pemerintah yang telah ditandatangani diatas meterai pada saat pemilik tanah Tigidoo menggelar aksi demo di Kantor Bupati Deiyai untuk menuntut pembayaran atas tanah tersebut,” ceritanya panjang lebar.
Dikatakan, proses pembayaran belum tuntas bahkan muncul desas-desus yang mestinya disikapi serius. Karena hal itu berpeluang memunculkan konflik di tengah masyarakat, sehingga pemerintah daerah perlu menyelesaikan pembayaran tanah yang dilepaskan itu.
Oleh karenanya, Pemkab Deiyai harus secara transparan dengan mengumumkan kepada seluruh masyarakat tentang proses pembayaran tanah agar kemudian hari tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti pada tahun lalu. (you)
http://papuaposnabire.com/index.php/deiyai/1327-pembayaran-tanah-adat-pemkab-deiyai-belum-transparan
0 komentar:
Posting Komentar