Stepanus Agapa
Etika
Etika individu dalam berperan di masyarakatnya merupakan suatu pegangan bagi kualitas individu sebagai modal dalam pembangunan yang diterapkan. Etika dan moral ini pada dasarnya bersumber dari kebudayaan yang menjadi pegangan bagi kelompok individu yang bersangkutan. Sebagai pegangan dari kelompok individu dalam suatu lingkup masyarakat berarti etika dan moral tersebut ada dalam sistem budaya suatu masyarakat.
Kedudukan etika yang terdapat di kebudayaan suatu masyarakat pada prinsipnya diselimuti oleh nilai budaya yang dianutnya, nilai-nilai budaya yang merupakan inti dari suatu kebudayaan. Nilai budaya didalamnya terdapat etos (pedoman etika berkenaan dengan baik dan tidak baik) yang menyelimuti pandangan hidup dan norma agama. Sehingga dengan demikian, pandangan hidup dan norma agama yang dipunyai oleh masyarakat akan terwujud dalam tindakan sehari-hari setelah melalui penyaringan sistem etika. Kesemuanya tersebut merupakan sebuah nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dalam konteks pengetahuan tersebut maka kebudayaan akan berisi konsep-konsep yang digunakan oleh pemiliknya dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada dalam lingkungannya dan memanfaatkannya demi memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dimana kemudian seseorang akan mencari pengetahuan mana yang dianggapnya sesuai dan mewujudkannya dalam tindakan-tindakan. Tindakan disini diartikan sebagai dorongan-dorongan atau motivasi dari dalam diri pelaku untuk memenuhi kebutuhan atau tanggapan (respon) terhadap rangsangan-rangsangan dari luar yang berasal dari lingkungan (Suparlan,1999). demikian kebudayaan yang dipakai untuk memahami lingkungan pada masyarakat yang ada tidak hanya mewujudkan respons terhadap lingkungan, tetapi juga respons terhadap kebudayaan lain melalui interaksi sosial dengan kebudayaan lain. Artinya bahwa kebudayaan masyarakat yang bersangkutan berupa referensi untuk memahami dan mewujudkan tingkah laku. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan
serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resepresep, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai manusia dan yang digunakan secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan tindakan-tindakannya (Suparlan, 1982:9). Seperti yang telah dikatakan di atas, model-model yang ada dalam kebudayaan ini dipakai sebagai sarana dalam mendorong mewujudkan tingkah laku yang nyata dalam kehidupan masyarakat, sehingga tingkah laku tersebut mempunyai makna dan terkategorisasi dalam peranan-peranan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Jadi perwujudan kebudayaan ada pada kehidupan masyarakat. Jadi kebudayaan sebagai serangkaian model-model referensi yang berupa pengetahuan mengenai kedudukan kelompoknya secara struktural dalam masyarakat yang lebih luas, sehingga tingkah laku yang muncul sebagai respon terhadap pola-pola interaksi dan komunikasi di antara kelompok-kelompok.
Rangkaian model-model referensi tersebut didasari pada nilai-nilai budaya yang merupakan inti dari suatu kebudayaan. Nilai budaya terdiri dari pandangan hidup (misalnya seorang anak harus hormat pada orang tuanya) dan ethos (pedoman etika berkenaan dengan baik dan tidak baik). Sehingga dengan demikian, etika ini akan terwujud pada tindakan yang termanifestasikan di suasana dan pranata tertentu dari komuniti sebagai suatu tindakan yang beretika. Dalam pranata sosial komuniti akan terdapat di dalamnya peran dan status dari masing-masing individunya yang terlibat interaksi di dalamnya dan pengaturan struktur sosial dalam pranata ini mengandung juga sistem etika. Dengan kata lain, tindakan individu terwujud dan mempunyai arti bagi individu lainnya dalam sebuah rangkaian peran sesuai dengan status yang disandangnya pada pranata sosial tertentu. Kebudayaan berisikan pedoman dalam memberikan makna atas gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia dan manusia itu sendiri sebagai pedoman bagi kehidupan,
sehingga dengan demikian kebudayaan merupakan system makna (Geertz, 1973). Agama dalam hal ini juga berisikan teks-teks suci sebagai suatu rangkaian makna, dan gejalagejala yang ada di lingkungan kehidupan manusia tersebut diberi makna menurut kebudayaan yang bersangkutan sehingga menjadi simbol-simbol (Suparlan, 2000). Sistem makna yang ada dalam keyakinan agama bersifat sakral atau suci, sehingga dalam perwujudannya dalam simbol-simbol juga akan bersifat suci.
Ajaran agama (baik universal maupun lokal) yang dikatakan sebagai norma agama, berada pada dan tercampur dengan pandangan hidup dari komuniti manusia. Untuk mewujudkan simbol dalam rangka penginterpretasian terhadap lingkungan, perjalanan persepsi ini akan melalui penyaringan dalam ethos (sistem etika) dan kemudian mendapat imbuhan nilai budaya dan akhirnya terwujud dalam suatu tindakan kebudayaan.
Pemahaman pemikiran manusia terhadap lingkungannya mau tidak mau mendorong manusia untuk berfikir secara sistematis dan terbatas pada ruang dan waktu. Kebudayaan manusia pada akhirnya dapat dikatakan sebagai suatu system simbol yang berisi penggolongan-penggolongan terhadap lingkungan. Bila ditelaah kembali dalam sistem budaya yang ada pada pemikiran manusia maka dapat dibagi beberapa simbol-simbol yang berkaitan dengan perwujudan atau dasar pendorong perwujudan tindakan yang ada.
Simbol-simbol dalam sistem budaya terbagi dalam empat perangkat yang bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing, yaitu: (1) simbol-simbol konstitutif yang berisi simbol-simbol keyakinan yang menyatakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diubah dan digeser dan bersifat dogmatis; (2) symbol kognitif yang merupakan simbol pengetahuan tentang pengorganisasian (pengeksploitasian, pemanfaatan, pemeliharaan) lingkungan, dalam simbol ini manusia dapat mewujudkan penemuan-penemuan baru untuk memenuhi kebutuhannya; (3) simbol penilaian yang berisi simbol-simbol baik-buruk, indah-jelek, dapat dimakan-tidak dapat dimakan, matang-busuk dan sebagainya; (4) simbol pengungkapan perasaan yang berisi kreatifitas manusia terhadap estetika, bahasa, komunikasi dan sebagainya. Keempat sistem simbol tersebut berjalan secara bersamaan dengan kualitas masing-masingnya, artinya bahwa ada seseorang yang mempunyai interpretasi symbol konstitutifnya lebih besar dari lainnya, atau simbol kognitifnya lebih besar dan sebagainya. Sehingga perwujudan dari tindakan yang nyata merupakan juga rangkaian simbol-simbol yang telah disepakati dalam masyarakat (Rudito, 2003).
Dari segi wujud kebudayaan, (mengikuti Spradley) terdapat tiga wujud kebudayaan yang masing-masingnya saling berkaitan satu sama lain, yaitu pengetahuan budaya (cultural knowledge), tingkah laku budaya (cultural behavior) dan benda-benda budaya (culural artifact).
Pengetahuan budaya berisi simbol-simbol pengetahuan yang dipakai untuk memahami dan mengiterpretasikan lingkungannya, dalam pengetahuan budaya ini terdapat etika yang mengarahkan pemahaman tersebut agar direstui oleh komuniti yang ada sehingga tidak akan menyimpang.
Tingkah laku budaya berisi tentang tindakan-tindakan empiris yang berlaku dalam komuniti yang individu pelakunya sesuai dengan status dan peranan yang telah disediakan dalam komuniti sehingga mereka dapat berinteraksi satu sama lain. Tingkah laku ini bersumber atau dipolakan perwujudannya oleh pengetahuan budaya. Wujud terakhir adalah benda-benda budaya sebagai hasil dari tingkah laku dan pengetahuan budaya yang ada dan berlaku sehingga benda-benda hasil olahan pelaku tersebut akan sesuai dengan kebutuhan yang ada atau fungsional.
Berbedanya lingkungan sosial, seperti adanya kelompok masyarakat lain dengan kebudayaan lain yang berbeda dan berinteraksi, serta adanya perubahan lingkungan alam, menyebabkan atau mendorong aturan-aturan yang biasa dipakai, melakukan adaptasi kembali untuk mengatur kondisi yang berubah tersebut. Sehingga walaupun lingkungan hidup masyarakat mengalami pergeseran, kebudayaan akan dapat mengaturnya dan tetap dapat dipakai sebagai referensi, karena kebudayaan bersifat adaptif. Artinya, model-model pengetahuan yang ada berkaitan dengan unsur yang dihadapi yang terdapat dalam lingkungannya, apabila lingkungan berubah maka model-model pengetahuan selalu dapat mengikutinya.
Perwujudan tindakan manusia akan terikat dengan peranan dan status yang mengharuskan dia bertindak sesuai dengan aturan yang ada, dan ini termasuk juga tata cara bagaimana pelaku tersebut bertindak dalam bentuk interaksinya dengan pelaku lain dalam situasi dan suasana yang melingkupinya. Tata cara tersebut menjadi bersifat pribadi (pengetahuan budaya) dan mempunyai keterikatan dalam koridor kebudayaan yang dimilikinya. Perbedaan kualitas sistem symbol yang dipunyai oleh individu-individu menyebabkan munculnya persaingan dalam pola interaksi yang terwujud, dan ini bisa menyebabkan munculnya deviansi dalam interaksi yang ada, sehingga ukuran untuk menentukan deviant atau tidak deviant suatu tindakan berdasarkan peran yang ada adalah sistem etika yang mengatur dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Perbedaan interpretasi agama yang mempengaruhi individu dapat juga menyebabkan berbedanya tindakan yang diwujudkan dalam peranan yang disepakati. Hal ini disebabkan berbedanya etika dan moral masing-masing agama dalam mengatur pandangan hidup seseorang sebagai anggota komunitinya.
Peran-peran yang ada pada individu adalah suatu tindakan yang harus dan semestinya dilakukan yang terkait langsung dengan status yang disandangnya. Dalam peran-peran inilah setiap individu dapat mewujudkan tindakan yang selektif yang mesti diambil dalam menanggapi suatu interaksi social yang terjadi di dalamnya. Dalam proses interaksi yang terjadi adalah “pertempuran” pilihan alternatif tindakan yang mesti dilakukan oleh individunya.
Peran-peran ini pada dasarnya dipelajari oleh individu sebagai suatu proses sosialisasi, yaitu proses belajar berperan. Sosialisasi ini akan melalui beberapa media yang terkait pada usia dari individunya, antara lain: Orang tua dan keluarga, teman bermain, sekolah, media massa dan masyarakat (Rudito, 2003). Pengetahuan yang ada atau yang disampaikan dalam media akan dapat mempengaruhi individu yang terlibat dalam proses sosialisasi yang ada, misalnya individu yang akhirnya dapat mempengaruhi tindakan yang diwujudkan, begitu juga apabila aturan dalam masyarakat berubah, maka otomatis dapat langsung mempengaruhi tindakan individunya.
Pengaruh lingkungan baik fisik maupun sosial yang melingkupi masyarakat mau tidak mau dapat merubah simbol kognitif yang ada pada sistem budaya masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perubahan struktur penduduk misalnya, dapat merubah pola-pola penginterpretasian dan juga aturan yang ada, seperti munculnya peranperan baru sehingga bisa menggeser pola etika yang sudah ada sebelumnya. Artinya bahwa etika yang bersumber dan menetap dalam sistem budaya masyarakat akan mengalami pergeseran dan atau paling tidak, bertambahnya pembenaran dari suatu tindakan yang diarahkan pada struktur etika yang sudah ada sebelumnya.
Pergeseran struktur dan nilai etika bisa terjadi salah satunya karena pengaruh lingkungan, seperti semakin semaraknya para wanita remaja Islam dengan pakaian longgar dan mengenakan kerudung (jilbab) di perguruan tinggi dan dipihak lain juga semaraknya wanita remaja berpakaian ketat (baik celana maupun T-shirt) yang menggantung sampai pusatnya terlihat. Tampak disini adanya dualisme kenyataan yang mempolakan adanya oposisi binari dalam pemikiran manusia yang terwujud pada pola-pola tindakan yang nyata. Disamping itu etika merupakan bagian dalam ethos yang senantiasa terjadi ‘pertempuran’ di dalamnya manakala manusia memahami gejala yang merupakan lingkungannya dan mewujudkan polapola tindakan sebagai dampak dari pemahaman tersebut.
Kepasrahan atas tindakannya yang memberikan kepada Tuhan sebagai penyelesaian akhir adalah salah satu bentuk perjalanan di atas jembatan antara kehidupan yang kotor dan bersih. Dalam arti aktivitas tersebut adalah sebuah ritual, suatu kondisi yang mempunyai sifat kedua oposisi binari yang ada dalam pemikiran manusia, dengan memberikan wewenangnya kepada Yang Maha Kuasa. Akhirnya, dikotomi yang didasari pada oposisi binari dalam pemikiran manusia yang terwujud dalam kebudayaan manusia menempatkan struktur etika pada bagian penyelesaian kesusilaan sebagai bentuk keseimbangan dalam kehidupan manusia.
Peranan-peranan yang ada dan berlaku di masyarakat pada prinsipnya bersumber pada seperangkat aturan yang berlaku.Aturan-aturan bagaimana penggolongan peran dalam masyarakat (pada masyarakat petani terdapat peran-peran petani, tengkulak, penjual bibit, pemilik sawah dan sebagainya, pada masyarakat nelayan terdapat peran-peran pencari ikan, saudagar pemilik kapal, juru lelang ikan dan sebagainya.).Peranperan ini pada dasarnya akan selalu mengalami perubahan, walaupun perubahan yang terjadi secara normal tidak secepat perubahan individu yang melaksanakannya. Artinya, Individu yang melaksanakan peran yang ada selalu berubah-ubah, seperti adanya aturan bagaimana peran seseorang yang menduduki status mahasiswa, dokter, tukang sayur dalam masyarakat.
Peran-peran tersebut akan selalu ada sedangkan individunya selalu berganti-ganti paling tidak mengalami alih generasi. Seseorang yang berperan sebagai direktur pada saat ini, pada saat yang lalu (7 tahun yang lalu) mungkin berperan sebagai mahasiswa, atau sekarang sebagai siswa SMU, 4 tahun lalu sebagai siswa SLTP. Peran-peran tersebut terangkai membentuk sebuah sistem yang disebut sebagai pranata sosial atau institusi sosial yakni sistem antar hubungan normanorma dan peranan-peranan yang diadakan dan dibakukan guna pemenuhan kebutuhan yang dianggap penting masyarakat (Suparlan, 2003).
Norma-norma dalam institusi sosial datangnya dari nilai-nilai budaya. Seperti misalnya mata pencaharian, religi, kesehatan dan sebagainya. Peran-peran ini pada dasarnya dipelajari oleh individu sebagai suatu proses sosialisasi, yaitu proses belajar berperan. Sosialisasi ini akan melalui beberapa media yang terkait pada usia dari individunya, antara lain: Orang tua dan keluarga, teman bermain, sekolah, media massa dan masyarakat. Pengetahuan yang ada atau yang disampaikan dalam media akan dapat mempengaruhi individu yang terlibat dalam proses sosialisasi yang ada. Misalnya individu yang akhirnya dapat mempengaruhi tindakan yang diwujudkan. Begitu juga apabila aturan dalam masyarakat berubah, maka otomatis dapat langsung mempengaruhi tindakan individunya...............
ARTIKEL SAMBUNGAN.
-1 KUALITAS MANUSIA
-2 ASPEK SOSIAL DALAM LINGKUNGAN HIDUP
-3 ETIKA
-4 PERAN SERTA KEMITRAAN
1 http://www.deiyai.co.cc/2010/10/manusia-sebagai-modal-pembangunan.html
2 http://www.deiyai.co.cc/2010/10/manusia-sebagai-modal-pembangunan_23.html
3 http://www.deiyai.co.cc/2010/10/manusia-sebagai-modal-pembangunan_455.html
4 http://www.deiyai.co.cc/2010/10/manusia-sebagai-modal-pembangunan_2031.html
0 komentar:
Posting Komentar