Saya sebagai manusia MEE pun sangat bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Masih sangat bingung. Dengan adanya arus yang menjadi tak terbendung lagi. Tapi optimisme dapat mengembalikan itu semua. Dan aku sendirilah yang bisa menjawab. Setiap pribadi manusia sendirilah yang bisa menjawab.
Waktu itu, saya masih Kolese Adhi Luhur kelas dua. Disiang itu, om ( sebutan paman ala papua) mereka kumpul di sebuah gubuk, hanya untuk sekedar duduk- duduk dan hanya saling bertukar pikiran.
Siang itu pembicaraan menjadi hangat. Berbicara hanya soal bahasa MEE untuk masa kekinian.
Dari pembicaraan itu saya paham maksudnya. Bahasa MEE sudah tercampur dengan bahasa
Inilah sederetan kalimat sebagai contoh, yang menjadi sorotan bahasa MEE kita. Pahami saja, dari kalimat diatas. Kata “uwo” yang artinya air dibaur didalam kalimat. Kata “ ega” yang artinya cepat, di baur didalam kalimat. Kata “ nota” yang artinya ubi dicampur didalam kalimat dan lain- lain. Bukankah saya, kamu dan kita semua patuh dan berbicara pada satu bahasa dalam situasi dan kondisi yang sedang berlansung. Bila kita berbicara pakai bahasa mee, kata- kata yang disertai harus bahasa mee semua. Bila berbicara bahasa
Apalagi bahasa MEE itu berbaur dalam konteks global. Dengan bahasa inggris. Gimana jadi yah? Itulah tanda- tanda kebahasaan MEE menjadi ambang tanda Tanya besar bagi suku MEE di tanah Papua.
Awal Januari 2010, saya hanya sekedar mampir ke warnet. Diskusi menarik terjadi. Hanya karena pentingnya budaya bahasa MEE. Budaya bahasa MEE yang semakin hari semakin memprihatingkan. Abang- abang chating di FB (facebook) rame. Bahasa mee penting. Bahasa mee penting. Bahasa mee penting. Itulah ujung kesimpulan yang saya temukan setelah diskusi dan chatingan singkat dengan abang- abang mereka.
Dari keprihatinan itu. Akhirnya, ada pembahasan khusus supaya buat kamus bahasa MEE. Selain, yang ditulis abang Jhon pada oktober 2009. Selain, alkitab versi bahasa MEE. Selain, kumpulan doa yang ditulis Bruder Norbert, SJ. Bruder Norbert menamakan judul buku itu adalah “ani sembayang natopai,” artinya ajarilah aku berdoa.
Dari diskusi lewat media FB itu, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang punya niat untuk menulis kamus bahasa MEE. Kalimat siapa yang bersedia menulis inilah yang diungkapkan oleh abang Markus You. Dan, tampaknya, Agus Mote bersedia untuk menulis kaidah- kaidah bahasa Mee. Kemudian kamus bahasa MEE, siapa yang mau tulis?
Kawan ini bukan lelucon. Bukan bahan tertawaan. Paling tidak kita sendiri , orang suku MEE sendiri yang tulis kamus bahasa MEE. Sebenarnya yang ditulis abang Jhon itu merupakan karya gemilang namun, masih ada fonem yang tidak konsisten dengan kita punya bahasa. Tapi karyanya perlu diacung jempol. Salahnya fonem “y” dipakai menjadi “j”. masih kebarat- baratan. Tapi luar biasa karena ditulis oleh manusia MEE. Apalagi ditulis dalam empat bahasa oleh abang Jhon.
Ketika saya ikuti kelas Sosiologi Umum dikampus. Memang, budaya bahasa yang menjadi hal yang pertama (utama). Hal utama yang harus dipertahatikan oleh manusia sebagai bagian dari budaya. Yang katanya, budaya dan manusia tak dapat dipisahkan satu sama lain. Ibarat sebuah koin. Itulah teori yang saya pernah dapatkan di bukunya, Soerjono Soekanto. Dan diktat kuliah.
Bila kita tengok,bahasa Mee telah terasimilasi dengan bahasa lain. Yang paling Nampak di daerah perkotaan Papua. Katakan saja di Nabire, ungkapan bahasa MEE dan bahasa
Kita lihat lagi ke mahasiswa. Mahasiswa pun sama. Kebahasaan MEE masih membaur. Apalagi pembauran kebahasaan itu dengan bahasa Inggris.
Sebenarnya solusi yang terpikir oleh saya yakni kita konsisten dengan bahasa. Ketika kita hanya berbicara bahasa Mee, maka kata- kata yang menyertai pun harus bahasa Mee. Begitu juga dengan bahasa lainnya.
“Untuk itu mari kita lestarikan bahasa MEE kita, agar bahasa sebagai modal utama yang Tuhan Berikan bagi suku MEE di tanah papua, menjadi identitas yang cukup dibanggakan”, kata saya.
Dengan melihat itu semua. Jadi pertanyaan, apakah bahasa MEE masih popular seperti sedia kala. Saya pikir, kita pribadi masing- masinglah yang bisa menjawab.
*) Penulis adalah mahasiswa asal tanah papua
0 komentar:
Posting Komentar