Pihaknya menghimbau agar seluruh orang Papua tidak menaikan bendera Bintang Kejora melainkan hanya melakukan ibadah di rumah-rumah dan puasa seharian sambil memakai busana serba hitam. Himbauan ini disampaikan karena jelang 1 Desember yang bagi orang Papua merupakan hari kemerdekaan Papua.
Sejak Tahun 1961 jelang 1 Desember selalu saja terjadi konflik bersenjata yang tak jarang memakan korban Jiwa. Wajah yang sama terulang lagi, kini 1 Desember kota Jayapura pihak aparat keamanan bersiaga penuh. Aparat keamanan di Papua Barat terus mewaspadai munculnya gerakan 1 Desember hari kemerdekaan Papua.
Polisi bertekad akan menembak mati kader OPM jika memaksa untuk beraksi yang merugikan kedaulatan NKRI. “Jika mereka bawa senjata, kami tak segan-segan akan menembak mati saat itu juga,” tegas Wakapolres Jayapura, AKP Chreist Pusung beberapa waktu lalu.
Situasi Politik di Papua sejak Maret 2010 terkesan memanas. Sejak terjadi kekerasan aparat TNI terhadap warga sipil di Puncak Jaya. Video kekerasan ini telah beredar luas. Awalnya, kalangan TNI menyangkal bahwa bukan personil tentara yang melakukan kekerasan dalam video itu. Namun, setelah diselidiki, toh, akhirnya terungkap juga. Keempat tentara itu dibawa ke Pengadilan Militer III-19 Kodam XVII Cenderawasih. Pengadilan militer hanya menghukum tujuh bulan penjara untuk Kosmos, sang komandan, sedangkan tiga anak buanya masing-masing lima bulan penjara dengan dalil tidak berbuat baik dengan masyarakat.
Kondisi ini membuat anggota Kongres Amerika Patrick Kennedy telah meluncurkan resolusi di Kongres AS yang mengungkapkan kondisi krisis yang sedang dirasakan Warga Papua. Resolusi itu, memperoleh dukungan dari 50 anggota Kongres Amerika menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah hak asasi manusia, termasuk kekerasan terhadap para tahanan di Papua. Soal kekerasan di Penjara di Papua, dapat di lihat dalam Laporan Human Right Watch.
Kasus kekerasan terhadap para tahanan di Papua juga mengakibatkan lembaga Palang Merah Internasional ( ICRC) harus hengkang dari bumi Papua. Sebelumnya para aktivis HAM dari ICRC mengunjungi penjara untuk melihat kondisi kekerasan yang dilakukan oleh penjaga terhadap Narapidana dan tahanan Politik. Akhirnya Pemerintah Indonesia melarang dan mencabut ijin operasi dari ICRC. Larangan ini bukanlah baru, karena sejak lama Pemerintah Indonesia telah melarang dan tidak memberi akses untuk aktivis HAM dan jurnalist asing untuk masuk dan bekerja di Papua. Sementara di daerah lain di luar Papua, akses pekerja HAM dan Jurnalist asing tidak serumit yang terjadi di Papua.
Pelarangan dan tidak adanya akses untuk media asing masuk ke Papua ini secara implisit hendak mengatakan untuk tidak terbongkarnya wajah Buram HAM dan Impunitas yang terjaga baik di Papua. Pelarangan ini juga melegalkan kekerasan militer terhadap warga sipil. Demi sebuah negara, faktor kemanusiaan terlupakan. Untuk sebuah harga Nasionalisme semu demokrasi di Papua di bungkam. Padahal Papua saat ini adalah salah satu propinsi dari negara yang berlabel Bhineka Tunggal Ika.
Akibat banyaknya pelanggaran HAM yang belum mendapat rasa keadilan bagi korban serta keluarga korban di Papua, maka sikap apatis dan ketidak percayaan orang Papua pun kian mendapat tempat.
Pemerintah Indonesia telah memberikan Otonomi Khusus bagi Tanah Papua. Dasarnya aspirasi Politik rakyat Papua menuntut kemerdekaan secara politik. Rakyat Papua berkomitmen untuk Merdeka, keluar dari NKRI dan membentuk Negara berdaulat sendiri; sementara itu pemerintah (pusat dan daerah) tetap mempertahankan Papua sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari NKRI.
Walaupun awal diberlakukan otonomi Kusus Papua terjadi pro dan kontra di kalangan orang Papua maupun di Pusat, namun toh tetap berjalan. Kini penerapan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus sudah 9 tahun namun masih dianggap berjalan di tempat.
Tidak jalannya Otonomi Khusus Papua diakui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mengatakan perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh atas pelaksanaan otonomi Khusus Papua.
Sementara Pemerintah Indonesia membangun citra baik dalam pendekatan terhadap Papua dengan di berlakukan kebijakan Khusus namun usah dan niat baik pemerintah itu kembali pupus lantaran bocornya dokumen rahasia dari Kopassus di Kota Raja Jayapura.
Adalah Allan Nairn, wartawan kawakan menulis dalam blog pribadinya menulis tentang Data Rahasia Kopasus yang menjadikan Aktivis Demokrasi dan HAM serta Tokoh Agama di Papua dianggap musuh Negara.
Dalam laporan Triwulan I Pos Kotaraja yang dibuat oleh Danpos, Lettu Inf Nur Wahyudi di Kotaraja, Agustus 2007 mengungkap beberapa hal penting yaitu keadaan daerah operasi, baik secara geografi, aspek demografi maupun aspek kondisi sosial. Pada aspek sosial inilah terdapat data Orang-orang Papua yang menjadi targer incaran. Terdapat 15 nama yang diberi kode tokoh-tokoh GSP/P yang berdomisili di Kotaraja dan sekitarnya.
Dari list nama-nama tersebut, Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Ketua Gereja Baptis Papua) berada pada urutan pertama. Yoman mengaku jika selama ini diincar oleh Kopassus Tahun 2007 lalu hingga kini. Laporan ini terkuak saat Presiden Us Barack Obama mengunjungi Indonesia untuk hubungan bilateralnya.
Sementara laporan ini terkuak West Papua Action Team (WPAT) yang berpusat di Amerika mengirimkan surak kepada Presiden Obama untuk bicarakan soal reformasi dan demokratisasi lebih asli di Indonesia dan khusus di Papua Barat dimana penyalahgunaan hak, ketidakadilan manusia dan gaya korupsi keamanan adalah endemik. Otonomi Khusus belum mampu menyelesaikan persoalan Papua.
Dalam surat tersebut WPAT menghendaki agar militer mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia, khususnya termasuk mengakhiri "operasi sweeping" oleh Pasukan Khusus Indonesia (Kopassus), menggantikan budaya impunitas dengan akuntabilitas asli militer dan kejahatan hak asasi manusia dan korupsi, untuk menghentikan kekuatan militer penuh untuk menghentikan Demonstrasi Damai di Papua, juga pembebasan terhadap tahanan politik Papua dan tahanan saat demo Damai digelar.
Amerika Serikat memainkan peran sentral dalam proses anekasi Papua Barat oleh Indonesia pada tahun 1960-an, sebuah proses yang transparan Papua gagal membayar kesempatan untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri yang sejati.
Amerika dan Negara Sekutunya termasuk menjadi ketakutan karena posisi Indonesia di Asia Tenggara sangat strategis untuk pelayaran dan perdagangan, maka Roberth Jhonson dari Staff Dewan Keamanan Amerika mengirim Surat Rahasia ke Mr. Bundi Assisten Pribadi President John.F. Kennedy pada tanggal 18 Desember 1961 (ketika Indonesia mengadakan Kampanye Militer) untuk segera mendesak Belanda menyerahkan Administrasi Papua ke Indonesia serta menghapus Hak Pribumi Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri agar Soekarno bisa mengurangi Komunisnya di Indonesia.
Belanda sebelumnya telah mengundang Indonesia ke Mahkama Internasional
PBB tetapi Indonesia menolak karena mereka tidak ada dasar yang jelas untuk
mengklaim wilayah Papua. Dan bahkan di muka Sidang Umum PBB pun,
Indonesia tidak mendapat banyak dukungan dari Negara-negara karena akan
melanggar Piagam 73 PBB tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi orang
Papua yang berbeda kulit, rambut, dan ras dari warga Negara Indonesia lainnya.
Yos Mahuze, salah satu Tokoh Papua yang ada saat pelaksanaan Pepera di Merauke bercerita (29/11) bahwa” kemenangan Pemerinah Indonesia dalam pelaksanaan pepera di Merauke karena dari 510 orang yang ikut dalam Pepera di Merauke adalah orang Pendatang. Mereka dari Timor, Key dan Ambon. Bukan semuanya orang asli Merauke, Papua” tegasnya.
Sementara Simon Moso, Tokoh Papua dan saksi saat Pepera di wilayah Kepala Burung ( Sorongdan Manokwari) bercerita soal kondisi Keamanan saat pelaksanaan Pepera dilakukan.
Moso berkisah soal Intimidasi, pembunuhan dan Pemerkosaan terjadi. “ Kami dipaksa dengan moncong senjata untuk harus memilih ikut Indonesia” tegas Moso
Sejak tahun 1961 pendekatan Pertama dari Pemerintah terhadap Papua adalah pendekatan militer. Berbagai Operasi Militer di berlakukan di Papua untuk menasionalisasi orang Papua. Untuk operasi ini Kerugian Pemerintah Indonesia bukan sedikit dana yang harus di alokasikannnya. Ujung-ujungnya adalah warga sipil sebagai warga negara Indonesia yang terus dan terus menjadi korban.
Kebijakan militeristik di Papua ibarat hendak melawan negara lain yang nyata-nyata telah mengambil beberapa kepulauan terluar dari Indonesia. Padahal hingga kini Papua masih dalam Negara Kesatuan Indonesia.
Begitu besar dana yang telah habis dalam operasi militer di Papua semestinya di peruntukkan untuk pembangunan ekonomi, Pendidikan dan pelayanan kesehatan. Akibat dari operasi militer yang menjadi korban adalah warga sipil orang Indonesia dan pihak aparat Keamanan orang Indonesia.
Kini era militeristik dalam bayang-bayang DOM telah berakhir namun perlu diakui bahwa kekerasan dan konflik bersenjata terus terjadi di Papua. Hal ini justru membuat orang Papua menjadi tidak nasionalis lagi. Operasi Militer terus gagal karena tidak mampu menasionalisasi orang Papua, dan justru sebaliknya bahwa karena pendekatan militeristik adalah awal yang baik bagi orang Papua untuk menyatakan diri bukan bagian dari negara militeristik.
Pemerintah hendaknya mengevaluasi total bentuk pendekatan yang tepat dan tidak memakan biaya sangat besar seperti dalam operasi militer di Papua lagi. Pendekatan yang Tidak lagi menelan korban nyawa orang Indonesia.
Upaya persuasip yang sedang dibutuhkan adalah penyelesaian Damai dan bermartabat antara Jakarta dan Papua sebagai resolusi konflik yang berkepanjangan yang mana hanya menghasilkan dendam dan saling curiga serta saling tak percaya antara Jakarta dan Papua.
Penyelesaian kasus Papua juga bukan dengan diberikan uang yang cukup banyak seperti dalam undang-undang Otonomi Khusus. Tentu hal pemberian uang dalam jumlah yang besar perlu namun kondisi ini tidak akan menyelesaikan persoalan. Toh, walaupun triliunan dana telah beredar di Papua namun kondisi masyarakat tidak berubah dan justru konflik kekerasan serta letupan senapan terus bergema.
Adalah Pater Dr Neles Tebay Pr, dari Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI) telah menggagas Dialog antara Jakarta – Papua sebagai upaya Damai menyelesaikan persoalan Papua selama Indonesia masih memerintah atas Papua. Upaya ini perlu didukung karena saat dialog tentu ada evaluasi soal Otonomi Khusus Papua yang menurut Presiden SBY perlu ada Evaluasi Total atas pelaksanaan Otonomi Khusus.
Selain itu, tentu ada bagian soal pelanggaran HAM di Papua. Di bagian itu akan dibahas bagaimana cara para korban bisa merasakan keadilan. Kompensasi bagi keluarga korban serta tidak terjadi impunitas bagi pelaku kasus HAM. Itulah penegakan Hukum dan HAM yang tepat. Yang tidak memandang bulu, dan status sosial.
Bagian lain dalam upaya Dialog secara bermartabat ini juga akan membicarakan soal distorsi sejarah. Awal mula pendekatan Pemerintah Indonesia di Papua. Tahapan ini sangat penting agar tidak ada lagi pemahaman yang salah terhadap sejarah awal. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
22 September 2010 Lalu di Congres Amerika telah dilangsungkan Hearing antara perwakilan Papua ( Aktivis Papua yang ada di dalam Idonesia maupun di luar Negeri), perwakilan Indonesia (yang diwakili oleh Nick Messet dkk) serta para Tokoh yang pedulu dalam proses penyelesaian kasus Papua.
Dalam Hearing tersebut, Anggota Congres Amerika Rev. Eni Valeo Mavaega menyebutkan bahwa di Papua sedang terjadi Slow Motion Genosida. Untuk itu pihak Congres mendorong sejumlah kebijakan humaniterian terhadap Papua.
Di Papua sedang terjadi slow motion Genosida ( Pinjam Istilah Eni Valeo Mavaega) lantaran pendekatan Pemerintah yang keliru dalam menasionalisasi Orang Papua. Slow Motion Genosida ini terjadi misalnya karena pemerintah memberlakukan program Trans migrasi. Perlu di akui bahwa di lain segi ada baiknya namun tentu ada buruknya. Karena pengambilan tanah ulayat yang cukup luas, aparat keamanan justru lebih menjaga kaum migran di banding orang papua padahal sama-sama manusia Indonesia.
Berikut pelayanan kesehatan di Papua yang tidak merata. Di basis-basis orang Papua jarang terdapat peralatan medis yang komplit sehingga angka kematian bagi orang Papua lebih tinggi.
Contoh lain karena kebijakan pemerintah yang kotra produktip seperti pemberlakuan instruksi Presiden ( Inpres) tentang pemekaran Propinsi Papua Barat, Kabupaten Timika, Kabupaten Paniai serta Kabupaten Sorong. Padahal Amanat undang-undang Otonomi Khusus yang di akui Negara Indonesia tidak menghendaki hal itu. Undang-undang lebih tinggi statusnya di banding Inpres namun kebijakan Inpres tetap berjalan.
Inpres no.1/tahun 2003 ditetapkan dan diterbitkan oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan provinsi Irian Jaya Barat walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 tahun 2001.
Kewenangan dalam implementasi Otonomi Khusus adalah keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua. Sampai dengan 9 tahun implementasi UU Otonomi Khusus ini, pemerintah belum mengatur satu kebijakanpun yang mengatur tentang kewenangan khusus di Tanah Papua sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 UU Otonomi Khusus.
Tidak ada realisasi atas pembagian hasil sumber daya alam untuk Papua dan Jakarta sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 32 UU No. 21 tahun 2001.
Penatapan Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2007 tentang Larangan Bendera Separatis dijadikan sebagai bendera Kultur. Ini bertentangan dengan amanat UU No. 21 Tahun 2001, khususnya Pasal 2. Lantaran Bintang Kejora banyak orang Papua telah ditembak mati, ada yang di tangkap dan di penjarahkan. Padahal dalam Undang-undang Otonomi Khusus Papua diakomodir bahwa Bintang kejora boleh di kibarkan bersamaan dengan bendera Merah Putih.
Saat penetapan Bintang kejora sebagai lambang kultural Papua, terjadi perdebatan yang alot. Sebagian orang menghendaki agar bintang kejora dijadikan bendera cultural, seperti di belahan dunia lainnya. Namun tak sedikit orang yang berpendapat bahwa itu adalah lambang kenegaraan Papua.
Melihat perdebatan tersbut, Majelis Rakyat Papua ( MRP) membentuk Panitia Khusus lambang Daerah melalui surat keputusan nomor 11/MRP/2006 untuk melakukan konsultasi dan dialog dengan berbagai komponen masyarakat di seluruh Papua.
Hasil dari konsultasi yang mana anggotanya adalah para saksi sejarah Papua,Tokoh perempuan, adat,agama, serta akademisi mempertahankan bendera bintang kejora dan lagu Hai Tanah Ku Papua sebagai lambang dan lagu daerah Papua.
Dalam pasal 2 Rancangan peraturan Daerah Khusus ( Raperdasus) mengenai lambang daerah papua yang telah di ajukan MRP ke Dewan Perwakilan Daerah Papua ( DPRP) dikatakan bahwa bentuk lambang Daerah terdiri dari benderah daerah, yakni Bintang Kejora dan lagu daerah, Hai Tanah ku Papua.
Arti lambang daerah menurut Raperdasus bahwa bintang kejora mengandung arti Papua terletak di wilayah Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memberi inspirasi bahwa di ufuk Timur akan, sedang dan telah bangkit sebuah negeri yang adil makmur, melambangkan kejayaan, keagungan, keperkasaan dan kemakmuran orang Asli Papua.
Persoalannnya hingga kini Pemerintah belum mengakomodir penetapan raperdasus ini menjadi sah, padahal MRP telah menyerahkan ke pihak DPRP dan Pemerintah. Akhirnya Status bendera Bintang Kejora tetap menjadi sumber konflik antara Papua dan Jakarta.
Untuk melihat secara langsung maka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba di Jayapura pada hari minggu (21/11)..
Situasi jelang kedatangan Presiden SBY ke Jayapura, Papua. Aman dibawah penjagaan ketat Ribuan aparat keamanan. Di saat yang sama di Wamena telah terjadi penangkapan terhadap 8 warga sipil oleh aparat keamanan. Satu diantaranya seorang perempuan.
Delapan warga sipil itu adalah 1. Meki Tabuni 2. Oskar Kolago 3. Pius Wandikbo 4. Kalialoma Ning 5. Akius Ginia 6. Emina Wenda (wanita) 7. Ali Yikwa 8. Andius Ginia. Para warga sipil ini di tangkap karena hendak melakukan protes atas salah satu teman mereka yang pernah disiksa aparat keamanan meninggal dunia. Kini Delapan waga masih dalam tahanan Polres Wamena dan hingga kini masih belum mendapat kuasa hukum untuk mendapingi mereka. Padahal masa tahanan di kepolisian hampir berakhir.
Kedatangan SBY ke Papua muncul berbagai spekulasi dan analisa dari berbagai pihak. Misalnya soal otonomi Khusus yang menurut SBY harus di evaluasi Total. Akankah para birokrat di Papua yang selama ini menikmati dana otonomi Khusus yang begitu besar akan di pangggil untuk di pertanggungjawabkan? Ataukah kedatangan SBY ke Papua lantaran Presiden Obama menghendaki suasana baru di Papua? Ataukah hanya sekedar acara serimonial biasa sekedar membuka kegiatan mahasiswa se Indonesia?
Apapun, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah menerima sebuah amplop yang berisi sebelas Point rekomenasi hasil Musyawarah besar bersama Majelis Rakyat Papua pada 9 dan 10 juni 20010 lalu, pada hari Senin 22 November 2010.
Amplop tersebut berisikan diantaranya Tuntutan Refrendum untuk Papua ini diberikan kepada SBY setalah salah seorang mahasiswa Papua berusaha mencegat dan berhasil melewati pengawalan yang super ketat untuk SBY.
Mentikapi hal tersebut, Ketua Dewan Adat Papua Forkorius Yaboisembut dalam jumpa persnya di Kantor Dewan Adat Papua Selasa 23 November 2010 mengatakan pihaknya mendukung penuh atas telah sampainya surat hasil rekomedasi Majelis Rakyat Papua bersama rakyat Papua dari 7 wilayah Adat di Papua.
Sebelum Presiden SBY ke Papua, selama beberapa hari berturut-turut di Jayapura dikunjungi beberapa kedutaan negara-negara asing seperti Kedutaan Amerika,New Zealnd dan Kedutaan Inggris. Kedatangan para duta-duta asing ini membuat tanda-tanya bagi beberapa kalangan. Akankah negera-negara asing akan bantu Papua untuk lepas dari segudang Konflik? Belum tentu.
Masing-masing para duta besar negara asing ini menawarkan sejumlah program untuk Papua. Misalnya kedutaan New Zealand menawarkan program pendidikan bagi Papua. Pihak kedutaan berharap agar Orang Papua dapat kesempatan studi ke New Zealand.
Di sisi lain juga New Zealand telah memberikan dana yang cukup besar bagi pendidikan dan Pelatihan Polisi di Papua. Bantuan kepada polisi ini diharapkan agar menjadi polisi yang profesional namun perlu diakui bahwa disaat yang sama terjadi penembakan dan pembunuhan terhadap Yawan Wayeni pada tahun 2009 lalu di Yapen Waropen, Papua oleh Aparat kepolisian. Kapolres Yapen Waropen Saat itu adalah AKBP Imam Setiawan, SIK yang kini setelah berhasil membunuh Yawan Wayeni di pindahkan ke Jayapura, Papua dengan menduduki Jabatan Kapolresta Jayapura.
Berikut adalah kedatangan Kedutaan Amerika ke Jayapura, kunjungan itu untuk mengetahui perkembangan Papua secara langsung. Namun di lain segi juga Amerika masih mengeksploitasi sumber kekayaan Indonesia melalui PT Freeport di Timika, Papua.
Selain itu Amerika juga masih memberikan bantuan bagi pendidikan dan Pelatihan Kopassus, padahal nama Kopassus di Papua sudah tercoreng saat berhasil membunuh Tokoh Papua Theys Hiyo Eluay, 2001 Silam.
Selain berhasil membunuh Theys, juga berdasarkan data rahasia yang terbongkar, Kopassus masih menjadikan para Tokoh Agama sebagai Musuh Negara. Namun Amerika memutuskan untuk memberi bantuan dengan harapan tidak lagi membunuh.
Kedatangan negara asing berikutnya adalah rombongan dari kedutaan Inggris ke jayapura. Pihak ini tertarik untuk berkampanye soal pemanasan Global dan dampanya bagi manusia di dunia.
Pihak kedutaan Inggris berkampanye soal masyarakat lokal untuk tetap menjaga hutan Papua. Padahal di banyak kasus, penebangan ilegal loging justru bukan oleh masyarakat lokal melainkan para investor gelap dengan dukungan aparat keamanan menggunduli hutan Papua.
Perlu diamati juga bahwa pihak kedutaan Inggris berkampanye untuk tidak menebang pohon di Papua namun di lain segi,perusahaan Gas BP di Bintuni, Papua adalah milik Inggris.
Sehingga sangat sulit menggantungkan harapan ke pada siapapun. Dalam situasi yang serba tidak pasti di Papua, seruan untuk menggunakan busana serba hitam yang disuarakan Forum Demokrasi rakyat Papua Bersatu ( Fordem) sambil menghimbau kepada seluruh orang Papua untuk tidak menaikan bintang Kejora dalam bentuk upacara bendera malainkan tetap dirayakan sebagai hari perkabungan atas matinya demokrasi serta untuk mengenang banyaknya orang Papua yang telah mati demi 1 Desember menjadi logis.
0 komentar:
Posting Komentar