
1. Pendahuluan
Perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki - inilah anggapan umum yang berlaku sekarang ini tentang kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Anggapan ini tercermin dalam prasangka-prasangka umum, seperti "seorang istri harus melayani suami", "perempuan itu turut ke surga atau ke neraka bersama suaminya", dll. Lagipula, sepanjang ingatan kita, bahkan nenek-moyang kita, keadaannya memang sudah begini. Tapi anggapan ini adalah anggapan yang keliru. Para ahli antropologi sudah menemukan bahwa keadaannya tidaklah selalu demikian. Apalagi menjadi korban sistim.
Dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19.
Dalam masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku. Demikian pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.
Namun jika kita cermati lebih lanjut, masyarakat-masyarakat di mana kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara ini adalah masyarakat nomaden, yang mengandalkan perburuan dan pengumpulan bahan makanan sebagai sumber penghidupan utama mereka.
Suku-suku Indian Iroquis sudah mulai bertanam jagung, namun masih dalam bentuk sangat sederhana. Demikian pula yang berlaku di tengah masyarakat Jermania dan Schytia. Pertanian, bagi mereka, hanyalah pengisi waktu ketika hewan-hewan buruan mereka sedang menetap di satu tempat. Data-data arkeologi bahkan menunjukkan bahwa pertanian primitif ini hanya dikerjakan oleh kaum perempuan sebagai pengisi waktu senggang, dan tidak dianggap sebagai satu hal yang terlalu penting untuk dapat dikerjakan oleh seluruh suku secara bersama-sama. Baik laki- laki maupun perempuan.
Namun, ketika berbagai masyarakat manusia menggeser prikehidupannya ke arah masyarakat pertanian, seluruh struktur masyarakatpun berubah. Termasuk di antaranya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Sekalipun berlangsung berangsur-angsur selama ratusan tahun, pada satu titik, perubahan-perubahan kecil ini menghasilkan lompatan besar pada pri-kehidupan manusia. Terlebih lagi setelah pertanian diperkenalkan, baik melalui penaklukan atau melalui proses inkulturasi, pada peradaban-peradaban lain di seluruh dunia. Dan salah satu perubahan penting ini terjadi pada pembagian peran antara laki-laki dan perempuan.
Pertama, pertanian pada awalnya membutuhkan banyak tenaga untuk membuka lahan karena tingkat teknologi yang rendah. Hanya dari proses ekstensifikasi (perluasan lahan)-lah pertambahan hasil dapat diperoleh. Oleh karena itu, proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan sebanyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian. Aktivitas seksual, yang tidak pernah dianggap penting, bahkan dianggap beban, di tengah masyarakat berburu dan mengumpul, kini menjadi satu aktivitas yang penting. Dewi Kesuburan merupakan salah satu dewi terpenting di tengah masyarakat pertanian, bukan hanya berkenaan dengan kesuburan tanah melainkan juga tingkat kesuburan reproduksi perempuan. Dan sebagai akibat logis dari keadaan ini kaum perempuan semakin tersingkir dari proses produktif di tengah masyarakat. Waktunya semakin lama semakin terserap ke dalam kegiatan-kegiatan reproduktif.
Kedua, teknologi pertanian yang maju semakin pesat ini ternyata malah membuat aktivitas produksi di sektor pertanian menjadi semakin tertutup buat perempuan. Penemuan arkeologi menunjukkan bahwa ditemukannya bajak (luku) telah menggusur kaum perempuan dari lapangan ekonomi. Bajak merupakan alat pertanian yang berat, yang tidak mungkin dikendalikan oleh perempuan. Terlebih lagi bajak biasanya ditarik dengan menggunakan tenaga hewan ternak, di mana pengendalian terhadap ternak memang merupakan wilayah ketrampilan kaum laki-laki. Intrusi (mendesak masuknya) peternakan ke dalam pertanian telah membuat ruang bagi kaum perempuan, yang keahliannya hanya dalam bidang pertanian, semakin tertutup.
Karena perempuan semakin tidak mampu bergiat dalam lapangan produksi, maka iapun semakin tergeser ke pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Dan ketika perempuan telah semakin terdesak ke lapangan domestik inilah patriarki mulai menampakkan batang hidungnya di muka bumi.
2. Kemungkinan-kemungkinan untuk Pembebasan Perempuan
Di atas kita dapat melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan produksi. Dan, pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk memasuki lapangan produksi.Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada gilirannya memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.
Dapatlah kita lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang bersamaan dengan masuknya perempuan-perempuan ke pabrik-pabrik. Kini perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih pasangan hidup.
Namun demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang sepenuh-penuhnya karena sistem nilai yang ada di tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran perempuan.
Kita dapat melihat bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja. Demikian pula yang terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri perfilman di mana aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.
Masih dalam bidang pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai "bidangnya perempuan". Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang "menarik". Banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita dan berusaha keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot.
Ini berkaitan erat dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat. Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia "cantik", "seksi" atau bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya, penilaian inipun sangat bergantung pada masyarakatnya karena apa yang "cantik dan seksi" untuk satu jaman belum tentu demikian untuk jaman lainnya. Dan pada titik ekstrimnya, kita melihat pelacuran sebagai bentuk eksploitasi puncak terhadap perempuan karena di sini bukan saja tenaganya yang dieksploitasi melainkan juga moral dan intelektualitasnya.
Hanya dengan demikianlah kaum perempuan akan dapat dikembalikan pada posisi terhormat dalam masyarakat - sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan: ekonomi, sosial dan politik.
Pembebasan bagi perempuan Deiyai
Kita telah belajar dari sejarah, masa lampau bahwa, hanya karena masalah hak dan kewajiban seorang manusia, baik laki- laki dan perempuan, dan berkembang segala bentuk teknologi pertanian menjadi perempuan menjadi kelas dua. Mungkin juga seperti ini banyak dari perempuan- perempuan Deiyai menjadi korban dan merasa dikesampingkan.
Memang benar ketika, perempuan Deiyai ingin benar- benar bangkit untuk memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Agar, bukan lagi menjadi korban. Rasa ingin duduk sama rendah maupun sama tinggi. Artinya, perempuan Deiyai pun punya berkehendak bebas untuk meluruskan naluri yang sebenarnya salah anggapan bahwa perempuan Deiyai merupakan manusia kelas dua. Baik dalam hal kepemilikan, keterlibatan dalam hal pengambilan keputusan dan dalam hal kesamaan jender dalam batasan hak perempuan yang memang harus diperjuangkan oleh perempuan Deiyai.
Coba tengok saja sekarang, perempuan Deiyai masih saja menjadi manusia kelas dua. Bagi saya, perempuan deiyai harus mencari titik persoalannya. Perempuan Deiyai masih saja menjadi manusia kelas dua. Lebih parahnya lagi bila perempuan Deiyai masih saja menjadi korban seks.
Banyak sekali yang perempuan Deiyai bisa belajar dari yang ada- ada. Dalam hal masalah pengambilan keputusan, malah suara- suara perempuan dikesampingkan dan bahkan tidak dilibatkan.
Bila berbicara dalam dunia pertanian misalnya garisnya belakang merupakan garisnya perempuan Deiyai. coba tengok saja kabupaten Deiyai kita, urusan anak dan kebun hanya di embangkan kepada kaum perempuan. Walaupun masih mengendong dua tiga anak- anaknya namun kaum pria masih saja mempersilahkan kaum perempuan Deiyai untuk pergi ke kebun. Dengan kata lain, belum ada kejelasan hak dan kewajiban antara kaum pria deiyai maupun kaum perempuan Deiyai.
Lebih parah lagi bila perempuan Deiyai disuruh kekebun yang sangat jahu dan dibebani tugas lagi dengan memangul anak- anaknya sekaligus. Inilah wujud pergeseran kesetaraan gender yang paling kental di daerah Deiyai. Sangat mungkin sekali ketika perempuan Deiyai dianggap kelas dua pada saman dahulu nenek moyang kita. Urusan anak dan masalah kebun paling banyak dilimpakahkan kepada kaum perempuan.
Yang jelas bahwa, zaman dahulu kaum perempuan pun dianggap kelas dua. Tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Tandanya, adanya emaawa (rumah kaum laki- laki) menjadi hanya perumahaan bagi kaum laki- laki dalam pembahasaan persoalan kecil- kecilan. Minimal saat itu, kaum perempuan Deiyai menguping pun tidak.
Saat ini pun sama bagi perempuan Deiyai. walaupun sudah jadi kabupaten Deiyai namun ada beberapa hal yang harus terus diperjuangkan oleh perempuan Deiyai. walaupun situasi sudah bergeser. walaupun telah masuk dalam dunia globalisasi modernisasi dan weternisasi yang bagi manusia didunia dapat membawa perubahan bagi perempuan di muka bumi apalagi bagi perempuan Deiyai namun masih saja dan makin parah untuk kesetaraan gender. Ada saja beberapa hal yang sebaiknya harus diperjuangkan oleh perempuan Deiyai.
Misalnya, dalam hal kepemilikan yang mensejahterakan, keterlibatan dalam hal tugas dan fungsi birokrasi ataupun keluarga, berkeinginan bebas untuk berpikir. Inilah bagi saya batas- batas sewajarnya yang harus diperjuangkan oleh kaum perempuan Deiyai.
Dengan ide saya ini ingin mengetengahkan bahwa, paling tidak harus ada garis komunikasi yang jelas dan punya kebebasan dalam hal hak dan kewajiban dari laki- laki Deiyai maupun perempuan Deiyai. Bila kita melihat kondisi Deiyai saat ini maka, saya ingin mengarisbawahi bahwa perlunya pemahaman kesadaran antara laki-laki Deiyai dan perempuan Deiyai. memengtingkan kebersamaan dan harga- menghargai, sebagai manusia dalam batasan kewajaran. Bukan pula, saling melebihi. Laki- laki Deiyai melebihi perempuan Deiyai dan perempuan Deiyai melebihi laki- laki Deiyai.
Minimal, yang harus kita lawan saat ini terletak hanya pada masalah kasus- kasus yang merajalelah saat ini di Deiyai. misalnya, menjadi korban seks, terkait masalah hak kepemilikan, dunia membisu pada kapitalisme dan imperalisme sebagai pengancuran masyarakat adat Deiyai yang nantinya berujung pada padamnya tingkat menghargai antara laki- laki dan perempuan Deiyai, dan pengambilan keputusan secara kekeluargaan.
Di sinilah kita dapat menarik satu kesimpulan: perjuangan pembebasan perempuan akan berhasil dengan sempurna jika ia disatukan dengan perjuangan untuk mencapai sosialisme. Dan sebaliknya, perjuangan untuk sosialisme akan juga berhasil dengan sempurna jika perjuangan ini menempatkan pembebasan perempuan sebagai salah satu tujuan utamanya. Kedua perjuangan ini tidak boleh dipisahkan, atau yang satu didahulukan daripada yang lain. Keduanya harus berjalan bersamaan dan saling mengisi. Tingkatan saling menghargai dan kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai manusia laki- laki dan perempuan Deiyai harus dipupuk.
*) penulis adalah mahasiswa papua yang lagi menuntut ilmu di pasundan Bogor. Ini hanya diedit dan ditulis kembali dari materi asal usul penindasan perempuan.
1 komentar:
PADE LUAR BIASA TERUS TINGKATKAN INSPIRASIMU TUHAN SELALU MENYERTAIMU DALAM MELAYANI BANYAK ORANG MELALUI TULISANMU INI.GBU.
Posting Komentar