Setelah laporan itu menggencarkan Kopasus, kini Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd mengaku selama ini dirinya sering dilacak oleh intelejen dari semua kegiatan-kegiatannya, terutama sekali donatur yang membiaya perjalanannya bersama beberapa rekan-rekannya beberapa waktu lalu ke Negara Adidaya Amerika Serikut untuk menghadiri Undangan Parlemen Amerika guna mendengar pendapat terkait berbagai pelanggaran HAM di Papua.
“Saya sudah mendapat informasi bahwa intelejen Indonesia saat ini sedang berupaya untuk melacak donator yang membiayai diri saya bersama beberapa rekan-rekan beberapa waktu lalu saat kita ke Amerika,” ujarnya. ( Harian Bintang Papua, 12 November 2010).
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah memberikan Otonomi Khusus bagi Tanah Papua. Dasarnya aspirasi Politik rakyat bangsa Papua tentang Papua Merdeka. Rakyat Papua berkomitmen untuk Merdeka, keluar dari NKRI dan membentuk Negara berdaulat sendiri; sementara itu pemerintah (pusat dan daerah) tetap mempertahankan Papua sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari NKRI. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan DPR RI mengambil kebijakan jalan tengah sebagai langka politik dimana Papua ditawarkan Otonomi Khusus untuk meminimalisir aspirasi Politik Papua Merdeka.
Kewenangan dalam implementasi Otonomi Khusus adalah keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan orang asli Papua. Sampai dengan 9 tahun implementasi UU Otonomi Khusus ini, pemerintah provinsi belum mengatur satu kebijakanpun yang mengatur tentang kewenangan khusus di Tanah Papua sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 UU Otonomi Khusus, namun terdapat inkonsistensi sikap dan perbuatan pemerintah pusat dan daerah. Sikap dan perbuatan tersebut bersifat sengaja maupun tidak sengaja, yaitu:
Ada beberapa kebijakan langsung maupun tidak langsung pemerintah pusat di Jakarta yang menunjukkan pelanggaran terhadap keberadaan dan pelaksanaan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebagai berikut:
a. Inpres no.1/tahun 2003 ditetapkan dan diterbitkan oleh Presiden sebagai perintah untuk menghidupkan provinsi Irian Jaya Barat walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU No.21 tahun 2001; dengan tujuan untuk mengobrak-abrik aspirasi Merdeka yang semakin kental di hati rakyat bangsa Papua.
b. Tidak menerbitkan segera beberapa PP (Peraturan Pemerintah) yang diamanatkan di dalam UU No.21 tahun 2001 sebagai pelaksanaan UU Otonomi Khusus Papua.
c. Pencairan dana Otsus tiap tahun anggaran hampir selalu sebagian besar dana pada akhir tahun anggaran, sehingga dana tidak dapat dimanfaatkan secara efektif untuk menolong dan menyelamatkan orang asli Papua, namun dibagi- bagikan dengan laporan keuangan fiktif.
d. Tidak ada realisasi atas pembagian hasil sumber daya alam Papua untuk Papua dan Jakarta sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 32 UU No. 21 tahun 2001.
e. Penatapan PP No.77 Tahun 2007 tentang Larangan Bendera Separatis dijadikan sebagai bendera Kultur. Ini bertentangan dengan amanat UU No. 21 Tahun 2001, khususnya Pasal 5.
f. Penetapan UU No.35 Tahun 2008 dalam rangka mengakomodir Provinsi Papua Barat dalam UU No.21 Tahun 2001 dengan cara mencoret dan menambahkan, telah melanggar UU No. 21 Tahun 2001, khususnya pasal 76 yang memberi kewenangan perubahan UU No. 21 Tahun 2001 kepada rakyat bangsa Papua.
g. Pemerintah Pusat mendorong dan mendukung pembentukan BMP (Barisan Merah Putih) di tanah Papua dan kegiatannya.
h. Pemerintah Indonesia secara sadar telah memasung MRP mulai dari kebijakan sampai dengan Implementasi tugas dan fungsi MRP, sehingga tidak berdaya dalam memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua.
Selain kegagalan Otonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat juga ada sejumlah hal yang dilakukan Pemerintah Daerah Papua dalam Kegagalan Otonomi Khusus Papua ini. Misalnya
a. Pemerintah Provinsi tidak menetapkan Perdasi dan Perdasus selama pelaksanaan UU Otonomi Khusus kecuali Perdasi pembagian Dana Otsus, pembentukan MRP dan Sekretariat MRP dan Perdasus pembagian Dana Otsus. Baru tahun ke-7 pelaksanaan Otonomi Khusus ditetapkan 8 Perdasus pada September, October dan November 2008 dan sejumlah Perdasi namun semua Perdasi dan Perdasus tersebut belum dipergunakan dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.
b. Tidak terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM di tanah Papua sesuai amanat UU No. 21 tahun 2001 pasal 45 dan 46.
c. Belum ditetapkan kebijakan khusus dalam rangka melaksanakan kewenangan khusus untuk keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua sebagaimana diamanatkan pasal 4 (ayat 2) UU No.21 tahun 2001.
d. Diberlakukan dualism hukum antara provinsi dan kabupaten/kota di daerah Otonomi Khusus di tanah Papua, dimana Provinsi melaksanakan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan Kabupaten/kota melaksanakan UU No. 32 thun 2004.
e. Rekruitmen calon Pegawai Negeri Sipil di Provinsi dan Kabupaten/kota belum diprioritaskan terhadap orang asli Papua sebagaimana diamanatkan dalam pasal 62 UU No.21 Tahun 2001 tetapi semakin dibanjiri dan dipenuhi oleh orang-orang non Papua yang tidak jelas latarbelakang hidupnya. Orang Papua sendiri tersingkir di atas Kampung dan tanah warisan leluhurnya.
Melihat kegagalan pelaksanaan Otonomi khusus yang fatal ini, Selpius Bobbi ( Tahanan Politik dan Ketua Front Pepera mengatakan sejak Undang-Undang Otonomi Khusus sejak tahun 2001 hingga kini tidak membawa perubahan yang signifikan dalam hidup orang Papua, Otonomi Khusu Papua gagal Total.
"Kami menyatakan bahwa implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus sejak tahun 2001 hingga kini tidak membawa perubahan yang signifikan dalam hidup orang Papua, dan kami nyatakan gagal" tegas Bobi,
Lebih jauh Eks Tahanan Politik ini mengatakan sikap bahwa Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan tiga kebijakan prioritas utama yakni (1) kebijakan dan aksi keberpihakan terhadap orang asli Papua, (2). kebijakan dan aksi perlindungan terhadap orang asli Papua, dan (3) kebijakan dan aksi pemberdayaan terhadap rakyat Papua" pungkas Bobii.
Pemerintah masih menurut Bobii dan aparatnya terus melakukan pembunuhan kilat, pembantaian, penangkapan dan pemenjarahan rakyat Papua.
Ketika ditanya tentang contohnya? Selpius meengatakan Komando Pasukan Khusus (Kopasus) Tentara Nasional Indonesia (TNI) menculik dan membunuh Ketua Presidium Dewan Papua, Theys H. Eluai tanggal 10 November 2001, selain itu masih menurutnya baca laporan wartawan kawakan Allan Nairm tentang Data Rahasia Kopasus yang menjadikan Aktivis Demokrasi dan Ham serta Tokoh Agama di Papua dianggap Musuh Negara. Bukti lain masih menurut Bobbi adalah beredarnya Video Kekerasan TNI di Puncak Jaya namun Pelakunya hanya di berikan hukuman beberapa bulan saja. Ini tentu tidak mencerminkan rasa keadilan para korban" tegas Bobii.
Contoh lain misalnya Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd mengaku selama ini dirinya sering dilacak oleh intelejen dari semua kegiatan-kegiatannya, terutama sekali donatur yang membiaya perjalanannya bersama beberapa rekan-rekannya beberapa waktu lalu ke Negara Adidaya Amerika Serikut untuk menghadiri Undangan Parlemen Amerika guna mendengar pendapat terkait berbagai pelanggaran HAM di Papua.
“Saya sudah mendapat informasi bahwa intelejen Indonesia saat ini sedang berupaya untuk melacak donator yang membiayai diri saya bersama beberapa rekan-rekan beberapa waktu lalu saat kita ke Amerika,” ujarnya. ( Harian Bintang Papua, 12 November 2010).
Alasan lain Kegagalan Otonomi Khusu Papua Gagal total adalah ketika Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Pemekaran Kabupaten dan Provinsi berdasarkan Intruksi Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, yang semuanya bertentangan dengan UU. No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Paling tidak beberapa negara Asing juga ikut terlibat dalam pelanggaran HAM di Papua. Misalnya bantuan Dana yang cukup besar dari Amerika dan Australia kepada Densus 88 dan Bantuan dana dari New Seland kepada Polisi Papua untuk program Pelatihan. Padahal sudah terbukti bahwa TNI dan Polri di Papua adalah pelaku Utama terjadinya pelanggaran HAM" pungkas Bobii.
Pemerintah Indonesia ketika ada kunjungan dari negara-negara tetangga terutama negara adi kuasa Amerika selalu mengkapanyekan adanya perubahan secara total di Indonesia. Perubahan ke arah Demokrasi. Namun dalam prakteknya Demokrasi di Papua tidak berjalan. Contohnya saat kunjungan Obama ke Indonesia, para aktivis yang hendak melakukan Demo damai tidak diijinkan oleh aparat Kepolisian. Bahkan Kapolresta Jayapura AKBP Imam Setiawan menahan sejumlah aktivis.
AKBP Imam Setiawan yang kini bertugas sebagai Kapolresta Jayapura adalah mantan Kapolres Yapen Waropen saat penembakan terhadap yawan Wayeni 3 agustus 2009 lalu.
Kasus kekerasan antara warga sipil di Papua dan aparat Keamanan dalam hal ini TNI dan Polri terus terjadi di Papua sejak tindakan aneksasi pemerintah Indonesia melalui Trikora oleh Presiden Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Trikora semakin memperuncing konflik antara Belanda dan Indonesia mengenai status politik bangsa Papua Barat. Adanya perang dingin antara blok barat dan blok timur, semakin eratnya hubungan Indonesia dengan Negara-negara blok Timur, sebagaimana yang tertera dalam surat rahasia Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy kepada Perdana Menteri Belanda Dr. J.E. de Quay tanggal 2 April 1962, mengakibatkan Belanda tunduk pada tekanan politik Amerika Serikat untuk menandatangani persetujuan dengan Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962. Persetujuan ini disebut New York Agreement.
Selpius Bobii juga menilai pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (PEPERA) pada tahun 1969, merupakan cacat hukum dan moral karena tidak dilaksanakan sesuai pasal X II ayat 1 dan pasal XVIII ayat d ketentuan New York Agreemen dan ketentuan hukum Internasional, penuh tekanan, teror, intimidasi oleh militer Indonesia dan penuh pembohongan terhadap rakyat Papua dan dunia Internasional. Dalam kesepakatan New York juga secara eksplisit telah dilakukan penandatangan kontrak karya oleh PT. Freeport McMoran Coper dan Pemerintah Indonesia pada tahun 1967 merupakan tidak sah karena tidak melibatkan wakil resmi Bangsa Papua Barat dan karena Tanah Papua pada waktu itu, secara hukum, belum menjadi bagian dari teritorial Indonesia" tegas Bobii
Sebagai akibat dari persoalan politik yang tidak diselesaikan secara demokratis seperti yang dijelaskan di atas, ratusan ribu orang Papua telah menjadi korban pelanggaran Hak Asazi Manusia berat yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui pembunuhan massal, pembunuhan kilat, pembantaian, penculikan, tekanan terror, intimidasi, dan berbagai bentuk penindasan." Ungkapnya.
Melihat sejumlah persoalan diatas maka pihanya menyatakan siakap agar dihentikan pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 atau UU Otonomi Khusus di tanah Papua, karena ia belum atau tidak menolong dan belum atau tidak penyelematkan orang asli Papua di atas Tanah Warisan leluhurnya. Juga Otonomi Khusus sedang perlahan-lahan memusnahkan orang asli Papua; selanjutnya agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemerintah Amerika Serikat, Belanda dan Negara-negara yang pernah terlibat untuk meninjau kembali proses dan pelaksanaan PEPERA pada tahun 1969 di Papua Barat.
Pihaknya juga berharap agar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk menbuka tempat bagi kebebasan Hak sehingga rakyat Papua dapat memutuskan masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar Internasional Hak Azasi manusia, Prinsip Hukum Internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Melihat sejumlah persoaln Papua yang tidak pernah dibahas tuntas bahkan selalu menutupi persoalan Papua oleh pemerintah Indonesia maka Selpius berharap untuk negara-negara asing menekan Pemerintah Indonesia yang selama ini tidak memberikan ijin bagi pemerhati, peneliti, diplomat, pekerja HAM, dan wartawan asing mengunjungi Papua.
Harapan Bobi ini bukan tanpa Alasan karena sejak lama banyak wartawan asing selalu mengeluh tentang sulitnya perijinan untuk meliput di Papua. Selain itu penutupan kantor ICRC dan tidak diperpanjangnya ijin Operasi bagi LSM HAM PBI adalah contohnya.
Untuk itu Bobi menegaskan bahwa lembaga-lembaga HAM Internasionaluntuk segera melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua sejak tahun 1963 hingga kini.
Selpius Bobii juga mengatakan seluruh rakyat Bangsa Papua mendukung proses Hearing soal papua pada tanggal 22 September 2010 lalu yang di prakarsai oleh Eni Faleomavaega, Anggota Kongres Amerika dan Diplomat Papua di Amerika Oktovianus Mote. Bobi melihat itu sebagai upaya mengakhiri penderitaan Bangsa Papua. Selain itu Bobi menyatakan Bangsa Papua mendukung upaya ILWP dan IPWP yang menggugat Aneksasi (19/12-1961) dan Penentuan Pendapat Rakyat (1969), serta kejahatan Kemanusiaan (pemusnahan etnis dan pengahncuran tanah serta pengurusan kekayaan alam Papua) ke Mahkama Internasional.
Di bagian akhir wawancara ini Bobi mengatakan "Bangsa Papua telah siap untuk menentukan nasibnya sendiri dan berdaulat penuh, maka, kembalikan hak kemerdekaan bangsa Papua yang telah dianeksasikan melalui konspirasi politik dan ekonomi tingkat tinggi yang dimainkan oleh Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB" tegasnya.
Oleh"
John Krist Pakage,
Freelance Jurnalist Tinggal di Papua
0 komentar:
Posting Komentar